Ini
kisahku, kisah biasa tentang
seorang
pria
biasa
yang mengejar cinta yang juga biasa saja, anggapku sih begitu. Waktu SD
aku dianggap bodoh, disuruh membaca aku tidak mau, menjawab soal pun
aku tidak mau, kerjaku di kelas hanya menggambar dan mencoret-coret
buku
tulis.
Dan berakhir, aku menyelesaikan masa SD selama 8 tahun.
Di SMP pun sama,
namun gambarku mulai sedikit lebih bagus, begitu kata teman-temanku.
Dan aku pun sanggup menyelesaikan masa SMP tepat waktu. Aku memang
tidak begitu pintar, namun juga tidak bodoh. Sebuah gambar lebih
berarti dibandingkan seribu kata, aku pernah mendengar itu dan
menurutku memang benar. Walaupun bapak selalu memarahiku karena tidak
pernah sekali pun aku masuk dalam jajaran
peringkat 10 teratas di kelas bahkan
peringkat 25 pun tidak pernah.
Di SMA, aku mulai
berpikir kalau keadaanku
akan
berubah
menjadi
lebih baik. Namun sebaliknya hal yang terparah pun terjadi, belum
cukup lima bulan aku bersekolah, aku dikeluarkan dan terpaksa pindah
ke sekolah lain yang jauh dari rumah. “Hai,
perkenalkan, eeh, nama saya Fadil, eeh, apa yah… paling suka
menggambar, eeh bukan melukis, ahh, sama saja ya.”
“Kamu duduk di
sana,”
kata si ibu guru sambil menunjuk ke arah tengah. “Di
kursi paling belakang karena hanya itu kursi yang kosong.”
“Ehh, kalau itu
Ibu, kursi depan
yang
dekat jendela.”
Aku sangat berharap duduk di kursi itu, sesekali memandang keluar
membantuku tidak mengantuk ketika belajar.
“Itu tidak
kosong, Ririn
sedang mewakili sekolah ikut kejuaraan
sains di luar kota.”
“Ohh, iyalah
Ibu,” sambil
menghela nafas berjalan menuju kursi belakang.
“Buka halaman
23 di buku pelajaran kalian dan baca sampai halaman 26, kemudian
jawab pertanyaan yang ada di halaman berikutnya,”
kata
si ibu guru sambil berlalu keluar kelas.
“Hei, akhirnya
kau pindah juga ke sekolah ini,”
mendadak pria yang duduk pas di depan ku menyapa sambil membalikkan
tubuhnya.
“Hahh, kamu
Jan! Lama tidak jumpa ya, terakhir waktu perpisahan di SMP
dulu.”
Dia temanku Januar, waktu SMP kami selalu di kelas yang sama.
“Heh,
kamu tidak berubah ya,
tetap saja si bodoh di kelas. Sampai-sampai
dikeluarkan dari sekolahmu itu,”
matanya
memandang remeh, memang si Januar lebih pintar dibandingkan aku, ya,
mungkin 15 level di atasku.
“Kamu
tahu?”
“Semua orang di
sini tahu. Berita buruk menyebar bagaikan kolera.”
“Hmm, semakin
membuat aku malu. Aku kalah taruhan.”
“Sudah berani
taruhan juga ya.”
“Aku harus
menggambari seluruh dinding depan kantor sekolah pakai cat minyak.
Kau tahu aku lakukan itu di malam hari, cahaya bulan, suara jangkrik,
dan … suara pentungan si penjaga suara yang memergoki ku. Gambarku
pun belum selesai.”
“Kau memang
sungguh tidak peduli. Memang kau taruhan apa?.”
“Kau tahu kan
Rian, si jangkung
besar dengan gigi jarang waktu SMP dulu. Dia orang pertama yang
menghina bakatku dalam menggambar. Dia menantangku, ya aku terima
demi mendapat pengakuannya dan kesetiannya, ha ha.”
“Kau tidak
berubah,” sambil
menggelengkan kepalanya.
“Kerjakan saja tugas dari Ibu tadi.”
“Eh,
tunggu, memang si Ririn itu pintar ya?”
“Ha
ha, iya sih, ya, tapi sedikit sombong, mungkin lebih tepatnya rasa
bangga dan narsisme yang berlebihan.”
“Ohh,
aku benci laki-laki sombong,” kata
Fadil dengan
halus sambil memandang ke bangku kosong itu.
“Dia
wanita,”
balas Januar seakan tidak peduli.
“Ehh…!"
Bersambung
Comments
Post a Comment