Skip to main content

Seperti Mimpi

Ketika mulai jatuh cinta, diri mulai tidak jujur dengan diri sendiri. Menjadi orang lain dalam khayalanmu, menjadi orang lain yang seperti dirimu. Aku tidak berdiri lagi dengan kakiku, tidak berlari lagi dengan kakiku, dan juga tidak melompat lagi dengan kakiku. Apa ini yang akan membawaku lebih dekat padamu? Bahkan sekarang pun aku mengendarai sepeda untuk dapat selalu mengejarmu.

Namanya Resky, bukan i tetapi pakai y, tetapi aku lebih suka memanggilnya Kiki, pakai i-i bukan y-y. Dia pun tidak keberatan jika aku memanggilnya begitu, meski semua orang-orang memanggilnya Resky. Dia seorang wanita dengan nama pria. Entah mengapa nama itu yang aku suka darinya. Dia bekerja sebagai penjaja minuman kesehatan yang bersepeda keliling gang setiap sore. Namun yang aku tunggu-tunggu bukanlah minuman itu, bukan juga bunyi kring-kring sepedanya. Dia suka tersenyum, dan itu yang aku tunggu darinya. Aku. Jatuh. Cinta. Padanya.
Sore itu di hari Sabtu, seperti biasa aku menunggunya di sekitar lapangan depan sekolah, sekaligus menemani adikku yang ketika itu kelas enam SD sedang ikut kegiatan rutin Pramuka.

“Dia datang,” pikirku seketika mendengar bunyi kring-kring sepeda.

Di kejauhan sana terlihat dia mengayuh sepeda dengan susah payah. Setiap harinya dia memakai rok meski sepedanya khusus sepeda wanita, tapi tetap saja itu susah. Dia semakin mendekat dan aku memperbaiki rambut seadanya dengan jari-jemariku. Aku juga memakai sepeda ke sana ke sini membonceng adikku yang paling bungsu ini. Sebenarnya itu hanya alasanku, hanya ingin sama dengan dia.

“Hai, Kik....”

“Hai, kak Resky!” Uhh, dasar sekumpulan bocah berteriak beramai-ramai mendahuluiku.

“Hai juga anak-anak. Hmm, hari ini ada rasa baru, dicoba ya.” kata Kiki sambil tersenyum dengan rapi, dia anggun dengan kerudung jingga muda sepadan dengan kulit wajahnya yang putih dan pipi tembem yang agak berwarna merah muda.

Aroma harum apel masak tercium dari hembusan angin di sekitarnya, “Hai, Kiki!” Aku mengulang sapaanku.

“Hai, Moththe!”

“Beli dua ya seperti biasanya.” kataku selalu saja canggung di depannya.

Dia tersenyum seakan itu hanya untukku saja, senyuman yang hangat seperti kuah sup buatan ibu yang dimakan ketika hujan turun dengan sangat derasnya.













Comments

Popular posts from this blog

*spica

wajahmu malam tanpa jalan pulang. senyummu malam rumah yang selalu aku rindu. tetapi matamu malam yang penuh bintang, konstelasi-konstelasi cahaya bak wanita masa lalu, yang menutun arahku. aku. jatuh. cinta. dengan. malam

Abu-abu dan Hijau; Pannikiang dan Mangrove (Sepotong Kisah Edutrip)

Mencoba untuk membuat introduksi yang menarik agar pembaca terkesan, namun apa daya hanya mampu   menulis ini: ketika peserta edutrip lainnya mencoba menulis berita, di sini saya hanya akan bercerita. Semua orang suka cerita. Ralat. Anak-anak suka cerita. Cerita ini tentang anak-anak yang melakukan perjalanan dari kota abu-abu menuju pulau hijau. Di setiap sudut jalan dia mendapati akan arti penting dari pulau hijau tersebut, tentang orang-orang ramah yang menempati pulau itu. Dan tentang pulau itu sendiri yang memiliki kehidupan, kenanga n dan masa depan. Hal itu membuat mereka berpikir untuk mengubah kota abu-abu dimana mereka tinggal menjadi kota-kota hijau dimana masa depan menjadi lebih penuh harapan.   Di pulau hijau, tempat dimana kau tinggal, maksudnya mangrove dengan segala fungsinya baik secara ekologis, fisik, maupun sosial dan dengan segala apa yang berada di dalam mangrove tersebut, kelelawar, ikan-ikan, para burung dan hewan-hewan bercangkang. Secara ekolo...