Mencoba untuk
membuat introduksi yang menarik agar pembaca terkesan, namun apa daya hanya mampu menulis ini: ketika peserta edutrip lainnya mencoba
menulis berita, di sini saya hanya akan bercerita. Semua orang suka cerita. Ralat.
Anak-anak suka cerita. Cerita ini tentang anak-anak yang melakukan perjalanan dari kota
abu-abu menuju pulau hijau. Di setiap sudut jalan dia mendapati akan arti
penting dari pulau hijau tersebut, tentang orang-orang ramah yang menempati
pulau itu. Dan tentang pulau itu sendiri yang memiliki kehidupan, kenangan dan
masa depan. Hal itu membuat mereka berpikir untuk mengubah kota abu-abu dimana
mereka tinggal menjadi kota-kota hijau dimana masa depan menjadi lebihpenuh harapan.
Di pulau hijau, tempat dimana kau tinggal, maksudnya mangrove dengan segala fungsinya baik secara ekologis, fisik, maupun sosial dan dengan segala apa yang berada di dalam mangrove tersebut, kelelawar, ikan-ikan, para burung dan hewan-hewan bercangkang. Secara ekologis mangrove menjaga segala makhluk hidup yang berada di dalamnya, menjadi habitat untuk mereka, tempat mencari makan, tempat berkembang biak dan tempat mengasuh anak-anak mereka. Secara fisik mangrove menjadi pelindung pulau itu, menahan tanah-tanahnya dari abrasi empasan ombak dan intrusi air laut yang secara tidak langsung juga menjaga orang-orang ramah yang tinggal di pulau itu. Secara sosial yang berhubungan dengan hubungan antara orang-orang ramah itu, sebut saja masyarakat—meskipun ada juga masyarakat yang kurang ramah dan bersikap tidak peduli—dengan mangrove itu sendiri. Bagaimana mangrove menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik sejahtera dengan semua sumberdaya yang mangrove miliki dan bagaimana masyarakat menjaga mangrove tersebut dari kerusakan yang tentunya disebabkan oleh golongan masyarakat yang kurang ramah itu.
Anak-anak itu terpukau oleh manfaat besar yang diberikan mangrove, sekaligus khususnya terpukau pula oleh keindahan hijau mangrove tersebut. Aroma laut yang asin dan suara-suara alam yang menggambarkan keinginan akan keharmonisan itu tetap terjaga hingga ke masa depan. Jalan-jalan kayu yang lewat di antara celah kayu-kayu mangrove di bawah kanopi-kanopinya. Hal tersebut menjadikan mangrove sebagai kawasan dengan potensi pengembangan dan pemanfaatan ecotourism yang tentunya harus berbasis masyarakat lokal, berbasis pelestarian lingkungan dan berbasis konservasi mangrove itu sendiri. Dikarenakan pada akhirnya, masyarakat setempatlah yang berperan sentral untuk menjaga mangrove itu tetap hijau.
Di pulau hijau, tempat dimana kau tinggal, maksudnya mangrove dengan segala fungsinya baik secara ekologis, fisik, maupun sosial dan dengan segala apa yang berada di dalam mangrove tersebut, kelelawar, ikan-ikan, para burung dan hewan-hewan bercangkang. Secara ekologis mangrove menjaga segala makhluk hidup yang berada di dalamnya, menjadi habitat untuk mereka, tempat mencari makan, tempat berkembang biak dan tempat mengasuh anak-anak mereka. Secara fisik mangrove menjadi pelindung pulau itu, menahan tanah-tanahnya dari abrasi empasan ombak dan intrusi air laut yang secara tidak langsung juga menjaga orang-orang ramah yang tinggal di pulau itu. Secara sosial yang berhubungan dengan hubungan antara orang-orang ramah itu, sebut saja masyarakat—meskipun ada juga masyarakat yang kurang ramah dan bersikap tidak peduli—dengan mangrove itu sendiri. Bagaimana mangrove menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik sejahtera dengan semua sumberdaya yang mangrove miliki dan bagaimana masyarakat menjaga mangrove tersebut dari kerusakan yang tentunya disebabkan oleh golongan masyarakat yang kurang ramah itu.
Anak-anak itu terpukau oleh manfaat besar yang diberikan mangrove, sekaligus khususnya terpukau pula oleh keindahan hijau mangrove tersebut. Aroma laut yang asin dan suara-suara alam yang menggambarkan keinginan akan keharmonisan itu tetap terjaga hingga ke masa depan. Jalan-jalan kayu yang lewat di antara celah kayu-kayu mangrove di bawah kanopi-kanopinya. Hal tersebut menjadikan mangrove sebagai kawasan dengan potensi pengembangan dan pemanfaatan ecotourism yang tentunya harus berbasis masyarakat lokal, berbasis pelestarian lingkungan dan berbasis konservasi mangrove itu sendiri. Dikarenakan pada akhirnya, masyarakat setempatlah yang berperan sentral untuk menjaga mangrove itu tetap hijau.
Satu hal yang
tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan mangrove itu nyata, fakta dan
telah banyak terjadi. Penyebab utamanya adalah konservasi mangrove menjadi
lahan-lahan tambak ikan dan udang. Meskipun pada awalnya keberhasilan produksi
tambak menjadikan semakin banyak lagi mangrove yang dikonversi, namun hal ini
tidaklah berlangsung lama. Intensifikasi pemanfaatan tambak secara eksploitatif
dan berlebihan dengan penggunaan zat-zat kimia menjadikan produksi tambak lambat
laun berkurang, berkurang, dan pada akhirnya tambak-tambak itu pun ditinggalkan
dan terlantar. Lalu, anak-anak itu bertanya, “bagaimana nasib tambak yang telah
terlantar itu?” jawabannya adalah strategi konservasi.
Pulau hijau ini,
yaitu pulau Pannikiang yang terletak di kabupaten Barru, masih memiliki
mangrove dengan kondisi yang terjaga. Tentu saja hal ini dapat terwujud berkat
adanya kepedulian masyarakat setempat. Karena masyarakat di pulau ini telah
merasakan manfaat dari mangrove dan paham akan arti penting mangrove tersebut, baik secara
sosial, ekonomi dan ekologi. Pannikiang telah menjadi inspirasi sekaligus
referensi untuk strategi-strategi konservasi di wilayah-wilayah lain yang
dahulunya hijau namun menjadi abu-abu. Untuk memperingati international
mangrove day, perjalanan anak-anak tersebut sekiranya menjadi harapan dan aksi
nyata untuk kelestarian masa depan mangrove yang kini masih hijau ataupun yang
kini abu-abu namun akan diubah menjadi hijau kembali seperti dahulu. Blue
Forests melalui strategi konservasi yang berbasis ekologi atau ecological
mangrove restoration (EMR) telah mengambil peran dalam masa depan mangrove dan
membuka kesempatan bagi kita untuk juga ikut bergabung; karena kita yakin alam,
mangrove dan ekosistem mampu untuk menyembuhkan diri mereka sendiri, tetapi
sebagai masyarakat dan manusia yang memiliki akal, adab, kehendak dan pilihan bebas, maukah
kita turut serta membantu dan mempercepat proses penyembuhan tersebut.
Untuk info lebih
lanjut mengenai konservasi mangrove klik www.blue-forests.org
Lahan bekas tambak di pulau Pannikiang yang tidak berproduksi lagi. Hal ini membuat masyarakat setempat sadar untuk tidak melakukan konversi mangrove.
Tampak keseluruhan mangrove, hutan hijau yang menutupi keseluruhan pulau Pannikiang. Tampak juga jalan-jalan kayu yang nantinya akan menjadi ecotourism berbasis lingkungan dan masyarakat lokal.
keren...jd ingin jalan2 kesana. lokasi kkn dulu di kab. barru tapi di daerah pedalaman..hehe
ReplyDeletedi pedalaman mana? baru di pedalaman gunung mungkin?
Delete