Skip to main content

Kucing Hilang


Sebuah gerbang besi tua berderit terbuka. Mereka bertiga berjalan masuk melewati serakan daun-daun kering coklat berbau lapuk. Mereka pun mempercepat langkah dan jalan berdampingan saling memegang tangan. Langit malam saat itu berawan dengan cahaya bulan bulat memantul di balik awan yang berarak. Karena cahaya bulan cukup terang, mereka mematikan senter dan melihat sekeliling. Terlihat pagar besi tua itu mengelilingi halaman rumah kosong yang luas, hanya sebuah pohon beringin rimbun berdiri di samping jalur antara gerbang dengan pintu rumah itu.
Rumah dengan pintu besar, tingginya sekitar 2,84 meter dengan dua daun pintu masing-masing lebar sekitar 1,42 meter. “Pasti butuh waktu tiga bulan untuk membuat pintu-pintu ini. Eeh, bukan! Dengan ukiran-ukiran ini, lihat! Begitu detail dan rumit pasti butuh lima bulan untuk menyelesaikannya. Ya, pasti lima bulan.” Kata seorang di antara mereka sambil memegang dagu dengan berbinar ingin tahu memandang ke pintu itu. “Kau lihat ini, ukiran-ukiran mawar dengan lima kelopak. Sungguh indah! Kalian tahu mawar melambangkan kerahasiaan juga feminisme.” Sambil menggerakkan telunjuk dari atas ke bawah pintu menyusuri ukiran-ukiran mawar itu. “Lihat sebuah  fleur-de-lis, mawar kompas, arah paling utama, indah bukan?” Menatap kedua temannya sesaat lalu menggerakkan kedua tangannya mengikuti alur ukiran bintang di sisi luar  fleur-de-lis itu. “Pasti bintang ini, Venus. Ya, Venus. Kalian tahu arti dari Venus, itu adalah….”
“Hei, cobalah untuk diam. Kita ke sini bukan untuk membicarakan pintu konyol ini dan segala lambang-lambang ini.” Seorang yang berdiri paling belakang maju dan menutup mulut temannya yang dari tadi terus bicara.
“Apa! Pintu konyol!” sambil menurunkan tangan temannya, “Ini seni, seni murni.” Nada bicaranya lambat ingin menunjukkan kapasitas intelektualnya. “Cara  manusia  untuk  meniru keindahan  tangan  Pencipta.”
“Ya, sudahlah, ayo cepat ketuk pintunya dan bereskan masalahnya. Aku ingin pulang, segera tidur dan semoga saja tidak bermimpi tentang senimu itu.” Mundur dan duduk di anak tangga di depan pintu besar itu.
“Aku kira seni juga tak akan masuk ke dalam kepalamu yang sebesar bola basket itu.” Bicaranya lambat dengan mata yang masih menyusuri ukiran pintu itu.
Terdengar sembilan kali suara ketukan. Seorang lagi yang dari tadi tetap diam mengetuk pintu. Gagang pintu berderit, terdengar gesekan-gesekan mekanik anak kunci yang berputar. Mereka bergerak mundur ke belakang dan yang tadi duduk kini berdiri memegang pundak temannya yang mengetuk pintu. Pintu terbuka dan terlihat seorang wanita mungil seumuran mereka. Berambut panjang lurus menutupi baju piyama birunya.
Wanita itu tersenyum, terlihat manis, matanya sayu mungkin mengantuk. Kulitnya putih, giginya putih, bibirnya merah muda terlihat mencolok. “Apa kalian yang mencari kucing hilang itu? Sampai malam begini.” Bicaranya lambat dan lembut, terasa hangat.
“Oh, iya. Maaf, kami malam-malam begini. Tapi besok, kucing itu akan ikut lomba. Jadi, harus malam ini.” Katanya tertahan-tahan yang mengetuk pintu tadi sambil tertunduk malu. 
“Tidak apa-apa, meski agak larut sebenarnya. Kucingnya di dalam sedang tidur, tadi makannya lahap sekali, akan kuambilkan.” Berjalan ke dalam lalu berbalik seketika, “Maaf, terpaksa kalian harus tetap di luar, soalnya ini sudah terlalu malam untuk bertamu.” Suaranya lebih lambat dan lebih lembut dari yang tadi, lalu berjalan masuk ke dalam.
“Sungguh lambang feminisme yang sempurna, keindahan di balik kerahasiaan seorang wanita.” Bicaranya tetap lambat dengan nada kagum.
“Aku pikir dia lembut, manis, jadi ingat gulali kapas.” Katanya menyela, lalu kembali duduk di anak tangga.
“Kalau menurut kamu bagaimana?” memegang pundak temannya yang mengetuk pintu.
“Hmm, dia cantik, gemulai, ya cantik. Ya, seperti Venus.” Jawabnya agak malu.
Mereka lalu diam melihat wanita itu kembali dari dalam sambil menggendong seekor kucing Maine Coon berbulu putih lebat. “Ini, terpaksa aku bangunkan, kucingmu cantik.”
“Ya, tidak apa-apa. Terima kasih sudah dirawat.” Mengambil kucing itu lalu menggendongnya.
“Kalau begitu, karena kucingnya sudah diambil dan ini juga sudah sangat larut malam, jadi…” Memegang mulut menahan kantuk.
“Oh ya, kami akan pulang, tapi tunggu. Kamu sudah lama tinggal di sini? Aku baru kali ini melihatmu.” Menahan malu karena bertanya.
“Sudah lama, aku lahir di sini, tempat ini memang terpencil dari kompleks sebelah.”
“Terima kasih, kami akan pulang.” Kedua temannya sudah berjalan agak jauh menuruni tangga berdiri menunggunya.
“Ya, aku harus menutup pintu ini.” Mulai mendorong pintu dengan kedua tangannya yang putih, lalu tersenyum. Wajahnya menghilang seiring tertutupnya pintu besar itu.
Dia pun berjalan menggendong kucing yang telah tertidur lagi. Menuruni tangga menyusul temannya. Sekali lagi melewati serakan daun-daun kering coklat berbau lapuk dan berjalan di bawah beringin rimbun. Mendengar derit terbuka gerbang besi tua dan langit masih tetap sama seperti tadi.
Namun, dia tak merasakan bulu lembut kucing yang dia gendong. Dia merasa aneh, merasa ada sesuatu yang masih tertinggal. Merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam hidupnya selama ini. “Hei, aku merasa menyia-nyiakan beberapa tahun belakangan masa hidupku di kota ini.” Tiba-tiba bicara membuat kedua temannya heran.
“Apa? Aku tidak mengerti maksudmu? kata temannya yang sejak tadi sudah mengantuk.
“Aku mengerti kawan, ini tentang fleur-de-lis, mawar kompas, arah paling utama dan yang perlu kau lakukan adalah….” Berbicara sambil menatap langit dan masih tetap lambat sambil mengacung-acungkan jari telunjuk ke arah bulan.
“Hei, berhentilah bicara soal mawar-mawar itu lagi.” Matanya sudah berat untuk terbuka.
“Apa yang harus ku lakukan? Kau tahu! kucingnya bergerak agak terkejut.
“Ya, kau harus lebih sering mengajak kucingmu berjalan-jalan, dan berharap agar kucingmu hilang lagi. Lalu berharap saja wanita tadi yang akan menemukannya lagi, ya, begitu.” Lebih lambat dengan intelektual yang dibuat-buat.
“Fhuu....” tertunduk mengelus-elus kucingnya dan merasa kalau kucingnya masih hilang.
Langit masih tetap sama, berawan dengan cahaya bulan bulat memantul di balik awan yang berarak, ....

Comments

Popular posts from this blog

*spica

wajahmu malam tanpa jalan pulang. senyummu malam rumah yang selalu aku rindu. tetapi matamu malam yang penuh bintang, konstelasi-konstelasi cahaya bak wanita masa lalu, yang menutun arahku. aku. jatuh. cinta. dengan. malam

Abu-abu dan Hijau; Pannikiang dan Mangrove (Sepotong Kisah Edutrip)

Mencoba untuk membuat introduksi yang menarik agar pembaca terkesan, namun apa daya hanya mampu   menulis ini: ketika peserta edutrip lainnya mencoba menulis berita, di sini saya hanya akan bercerita. Semua orang suka cerita. Ralat. Anak-anak suka cerita. Cerita ini tentang anak-anak yang melakukan perjalanan dari kota abu-abu menuju pulau hijau. Di setiap sudut jalan dia mendapati akan arti penting dari pulau hijau tersebut, tentang orang-orang ramah yang menempati pulau itu. Dan tentang pulau itu sendiri yang memiliki kehidupan, kenanga n dan masa depan. Hal itu membuat mereka berpikir untuk mengubah kota abu-abu dimana mereka tinggal menjadi kota-kota hijau dimana masa depan menjadi lebih penuh harapan.   Di pulau hijau, tempat dimana kau tinggal, maksudnya mangrove dengan segala fungsinya baik secara ekologis, fisik, maupun sosial dan dengan segala apa yang berada di dalam mangrove tersebut, kelelawar, ikan-ikan, para burung dan hewan-hewan bercangkang. Secara ekolo...